Pada hari Rabu, tanggal 7 Maret 2018, Atus Satriawan (staf paralegal) dan Okeu Supriadi (staf logistik), menghadiri kegiatan pertemuan diskusi lintas agama mengenai delik tindak pindana bagi masyarakat yang mempromosikan alat kontrasepsi dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Acara tersebut dilaksanakan di Wisma PKBI Jawa Barat pada pukul 10.00 sampai dengan 15.00 WIB.
Sesuai dengan update pada tanggal 2 Februari 2018, Pasal 481 dan 483 dianggap dapat memkriminalisasi para petugas dan relawan yang bergerak di bidang Penanggulangan HIV-AIDS dan Keluarga Berencana. Selama pertemuan tersebut peserta memberikan masukan, bahwa perlu adanya peraturan turunan yang mengatur siapa saja yang dapat memberikan informasi tentang kondom. Namun pendapat tersebut dianggap mengganggu efektifitas, misal pemerintah harus memberikan pelatihan-pelatihan kepada kader dan relawan agar dianggap kompeten. Sehingga akan banyak biaya yang harus dikeluarkan pemerintah. Selain itu komponen pemerintahan juga kemudian harus mengeluarkan legalitas yang menerangkan bahwa kader atau relawan tersebut boleh memberikan informasi tentang HIV. Salah seorang peserta yang merupakan tokoh keagamaan dari organisasi Muhammadiyah mengatakan, bahwa jika pasal ini disahkan akan memunculkan kekhawatiran peningkatan epidemi HIV dan AIDS di Indonesia. Salah satu perdebatan yang cukup menarik adalah tentang fakta bahwa memberikan informasi tentang kondom bukan tindak pidana, sehingga tidak perlu diatur di dalam RKUHP.
Di sisi lainnya, ada ketentuan lain yang mengatur tentang kondom yaitu di di undang-undang pornografi dan undang-undang kesehatan. Bahkan pada tahun 1978, Kejaksaan Agung mengedarkan surat tanggal 19 Mei 1978 yang menyatakan bahwa pasal 283 dan 534 tidak diberlakukan atau mengesampingkan pidana terhadap atau bagi petugas dan relawan yang bergerak di bidang keluarga berencana.
Diakhir pertemuan, Peserta kegiatan diskusi dari Tokoh Agama menandatangani kesepakatan agar pemerintah melalui legislatif meninjau ulang RKUHP tersebut.